Klik Banjarnegara – Ruwat Bumi Tanjunganom kembali menjadi magnet perhatian ribuan warga dan tamu yang memadati lapangan desa pada Kamis, 10 Juli 2025.
Pagelaran budaya tahunan ini tak hanya menampilkan kekayaan tradisi lokal, tetapi juga menjadi ajang makan bersama alias kembul bujana, berebut gunungan hasil bumi, dan menangkap ikan dalam suasana penuh keceriaan.
Tak bisa dipungkiri, kegiatan yang terangkum dalam Ruwat Bumi Tanjunganom ini adalah bentuk nyata dari warisan budaya yang masih sangat dihargai dan dirayakan oleh masyarakat.
“Momen ini merupakan cermin kekompakan warga dalam suasana kebersamaan. Makan tenongan bersama adalah simbol keguyuban yang harus terus kita uri-uri,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara, Tursiman.
Tak hanya sekadar seremonial, rangkaian acara Ruwat Bumi Tanjunganom digelar dengan berbagai aktivitas yang sarat makna spiritual dan budaya.
Sejak tanggal 8 Juli 2025, warga sudah memulai dengan kegiatan bersih makam, bersih jalan (gili), bersih sungai (kali), hingga kegiatan khas desa pesisir seperti parak iwak ceria.
Dalam kegiatan parak iwak, warga ramai-ramai menangkap ikan yang disediakan panitia dalam jumlah fantastis, yaitu 5 ton.
Menurut Kepala Desa Tanjunganom, Suwahyo, parak iwak ini bukan hanya ajang hiburan, tapi juga cara menanamkan keterampilan dan semangat gotong royong.
“Parak iwak ini penting agar seluruh warga terampil dalam menangkap ikan, mengingat potensi desa kami adalah perikanan. Menu ikan sangat penting karena di samping proteinnya tinggi namun rendah kolesterol,” terangnya.
Salah satu momen yang paling dinanti dalam perayaan ini adalah arak-arakan hasil bumi dan tenong (wadah makanan tradisional), yang kemudian dibawa menuju lapangan utama.
Prosesi ini diiringi dengan doa keselamatan oleh para sesepuh dan pemuka desa, lalu dilanjutkan dengan kembul bujana — makan bersama menu khas hasil olahan alam desa yang disajikan dalam tenong oleh warga sendiri.
“Semua menu merupakan hasil alam Desa Tanjunganom yang dimasak warga secara alami dan disajikan secara khas dalam tenong untuk disantap bersama,” jelas Suwahyo.
Tradisi dengan tema besar “Mangesti Sabda Manjing Gusti” ini bukan hanya soal simbolik atau budaya, melainkan juga menjadi upaya serius dalam membangun identitas desa dan mengangkat potensi lokal, baik dalam pertanian maupun sektor perikanan.
Anggota DPRD Banjarnegara, Edi Santosa — yang juga merupakan putra daerah — menilai kegiatan ini sangat strategis, tak hanya sebagai bentuk penghormatan pada leluhur, tetapi juga sebagai sarana promosi budaya lokal ke khalayak yang lebih luas.
“Pagelaran seni budaya dan ruwat bumi menjadi bukti kuat bahwa tradisi lokal tetap hidup di tengah masyarakat modern,” ujarnya penuh harap.
Ia pun menambahkan bahwa agenda ini layak menjadi tradisi tahunan dan bisa dikemas lebih serius sebagai atraksi wisata budaya unggulan.
“Mari kita bersatu, saling mendukung membangun desa agar Banjarnegara makin maju dan sejahtera,” pungkasnya.
Semangat dan kekompakan warga dalam Ruwat Bumi Tanjunganom memang patut diacungi jempol.
Tradisi ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang bagaimana masyarakat bisa tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal di tengah derasnya arus modernisasi.(*)